Perjanjian Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia

Perjanjian merupakan salah satu instrumen utama dalam menjalin hubungan hukum antara individu maupun badan hukum di berbagai aspek kehidupan, baik sosial maupun ekonomi. Dalam praktiknya, perjanjian menjadi dasar untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam banyak bidang. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat mengenai konsep perjanjian menurut hukum yang berlaku di Indonesia sangat penting, Master Corporate-ku siap membantu anda agar setiap tindakan hukum yang dilakukan memiliki kepastian, keadilan, dan perlindungan hukum. 


DEFINISI PERJANJIAN

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), perjanjian adalah “suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Dengan kata lain, perjanjian adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk menciptakan, mengubah, atau menghapuskan suatu hubungan hukum.


DASAR HUKUM 

Peraturan yang mengatur perjanjian secara umum di Indonesia antara lain:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), khususnya Buku III tentang Perikatan.
  • UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

SYARAT SAH NYA PERJANJIAN

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi empat syarat berikut:

  1. Kesepakatan para pihak : Kesepakatan berarti adanya kehendak bebas dari para pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. Kesepakatan ini tidak boleh didasari oleh kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Jika kesepakatan diperoleh melalui cara-cara yang tidak sah, perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
  2. Kecakapan untuk membuat perikatan : Para pihak yang membuat perjanjian harus cakap secara hukum. Artinya, mereka harus sudah dewasa dan tidak berada dalam pengampuan (misalnya karena gangguan jiwa). Jika salah satu pihak tidak cakap hukum, maka perjanjian dapat dianggap tidak sah.
  1. Suatu hal tertentu : Objek atau isi dari perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Misalnya, dalam perjanjian jual beli, harus jelas barang apa yang dijual, jumlahnya, dan karakteristiknya. Ketidakjelasan objek dapat menyebabkan perjanjian menjadi batal demi hukum.
  2. Sebab yang halal : Sebab atau tujuan dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Contoh perjanjian dengan sebab yang tidak halal adalah perjanjian untuk melakukan tindak kejahatan atau melanggar hukum.

Keempat syarat ini terbagi menjadi dua kategori:

  • Syarat subjektif: Kesepakatan dan kecakapan para pihak.
  • Syarat objektif: Suatu hal tertentu dan sebab yang halal.

Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Sementara jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (null and void).


ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

Dalam hukum perjanjian Indonesia dikenal sejumlah asas penting, antara lain:

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Para pihak bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian selama tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum sebagaimana diatur pada Pasal 1338 KUHPer.

Asas konsensualisme
Para Pihak yang mengadakan perjanjan tersebut harus sepakat mengenai hal-hal yang dituangkan di dalam perjanjian yang diadakan itu, sebagaimana tercantum pada Pasal 1320 KUHPer.

Asas itikad baik (good faith)
Merujuk pada ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPer, perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik, artinya para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan kepercayaan dan kejujuran tanpa tipu daya atau menutupi keadaan yang sebenarnya.

Asas pacta sunt servanda
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana tercantum pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPer.

Asas Kepribadian

Merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat perjanjian hanya dapat untuk kepentingan perorangan saja sebagaimana disebut pada Pasal 1315 KUHPer yang menyatakan :

““Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Dan Pasal 1340 KUHPer yang menyatakan :

Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

Namun seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan adanya syarat yang ditentukan sebagaimana diatur pada Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan :

Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu”.

Sehingga seseorang dapat membuat perjanjian yang memberikan manfaat atau kewajiban bagi pihak ketiga, meskipun pihak ketiga etrsebut tidak secara langsung terlibat dalam perjanjian.


JENIS-JENIS PERJANJIAN

Berdasarkan bentuk dan sifatnya, perjanjian dapat dibedakan menjadi:

  1. Perjanjian tertulis dan lisan
    • Tertulis : Perjanjian yang dituangkan secara eksplisit dalam bentuk tulisan, baik berupa akta otentik maupun perjanjian dibawah tangan.
    • Lisan : Perjanjian yang dibuat hanya berdasarkan kesepakatan secara verbal atau dengan kata-kata tanpa dituangkan secara tertulis.
  2. Perjanjian sepihak dan timbal balik
    • Sepihak: Perjanjian yang menimbulkan kewajiban hanya pada salah satu pihak saja, sementara piak lain tidak memiliki kewajiban hukum dalam perjanjian tersebut, contohnya adalah pemberian hibah dan wasiat.
    • Timbal balik: Perjanjian yang menciptakan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat, contohnya adalah perjanjian jual-beli dan sewa menyewa.
  3. Perjanjian bernama (nominaat) dan tidak Bernama (innominaat)
    • Bernama: Perjanjian yang secara khusus diatur di dalam Undang-Undang kususnya diatur di dalam KUHPer. Perjanjian ini memiliki nama atau identitas sendiri yang diatur oleh hukum. Contohnya adalah perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan sebagainya.
    • Tidak bernama: Perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam Undang-Undang, sehingga merpakan perjanjian yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengikatkan diri dengan didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, contohnya adalah perjanjian franchise,leasing, joint venture, perjanjian kerja sama dan lain-lain.

BENTUK PERJANJIAN

Secara umum, hukum Indonesia menganut asas konsensualisme, sehingga bentuk perjanjian tidak harus tertulis. Namun, terdapat beberapa jenis perjanjian, seperti:

  1. Perjanjian di bawah tangan : Perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak tanpa melibatkan Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);
  2. Perjanjian otentik : Perjanjian yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris dan/atau PPAT selaku pejabat yang berwenang, berupa akta sesuai dengan tata cara yang ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga disebut dengan akta otentik.

Kekuatan pembuktian keduanya berbeda, akta otentik memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dan mengikat dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat sendiri dibawah tangan oleh para pihak karena akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk membuat perjanjian (akta) menurut Undang-Undang Jabatan Notaris, sedangkan perjanjian dibawah tangan hanya dibuat oleh para pihak yang mengikatkan dirinya.


AKIBAT HUKUM PERJANJIAN

Jika suatu perjanjian sah, maka:

  • Mengikat para pihak layaknya undang-undang (Pasal 1338 KUHPer).
  • Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
  • Dapat menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban yang dapat dituntut secara hukum.

Namun, jika perjanjian tidak sah atau dilanggar:

  • Pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian.
  • Dapat menuntut ganti rugi atas wanprestasi (ingkar janji), sebagaimana yang diatur pada Pasal 1243 KUHPer. Wanprestasi adalah ingkar janji dimana ada pihak yang tidak bisa memenuhi hak atau kewajiban di dalam perjanjian yang telah disepakati. Unsur-unsur wanprestasi antara lain :
    • Tidak memenuhi prestasi/tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan;
    • Memenuhi prestasi/melakukan yang diperjanjikan namun tidak sebagaimana mestinya (tidak sesuai yang telah diperjanjikan);
    • Memenuhi prestasi/melakukan apa yang diperjanjikan namun tidak sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan dan/atau terlambat melakukan sesuatu;
    • Melakukan hal yang dilarang oleh perjanjian yang telah disepakati.

Pihak yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi terhadap gugatan wanprestasi sebagaimana diatur pada Pasal 1239 KUHPerdata yang mengatur tentang sanksi wanprestasi, yaitu kewajiban debitur untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga jika tidak memenuhi kewajibannya dalam perikatan, baik untuk berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu.

  • Dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk penyelesaian sengketa.

KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Dengan kata lain, klausula baku merupakan ketentuan standar dalam kontrak yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dan biasanya tidak bisa dinegosiasikan oleh konsumen.

Praktik klausula baku diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan Undang-Undang. 

Pasal 18 UUPK mengatur secara tegas larangan penggunaan klausula baku yang merugikan konsumen, antara lain:

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang antara lain:

  1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen.
    Contoh: “Segala kerusakan atau kehilangan bukan tanggung jawab kami.”
  2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak pengembalian uang atau barang yang telah dibeli.
    Padahal konsumen bisa menuntut ganti rugi bila barang tidak sesuai.
  3. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk menafsirkan sepihak isi perjanjian.
  4. Menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan baru yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.
  5. Membatasi hak konsumen untuk mengajukan gugatan.
  6. Memberikan kekuasaan kepada pelaku usaha untuk mengubah isi perjanjian secara sepihak.
  7. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa penuh kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak.

Klausula baku yang dilarang dan tetap dicantumkan dinyatakan batal demi hukum, meskipun konsumen menandatanganinya sesuai dengan Pasal 18 ayat 3 UUPK. UUPK memberikan batasan yang jelas untuk memastikan bahwa isi perjanjian tidak berat sebelah. 


Perjanjian merupakan landasan hukum yang penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan kegiatan usaha. Oleh karena itu, memahami ketentuan hukum yang mengatur perjanjian, mulai dari syarat sah, bentuk, hingga akibat hukumnya, merupakan langkah krusial untuk menghindari risiko hukum di kemudian hari. Sebuah perjanjian yang dibuat dengan memenuhi semua ketentuan hukum tidak hanya melindungi hak dan kepentingan para pihak, tetapi juga menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam setiap hubungan hukum yang terjalin. Konsultasikan kepada Master Corporate-ku segera!